Senin, 07 Februari 2011

Artis Berbakat dan Lintah (The Talents and Leech)

Banyak orang melewatkan pameran seni, –saya tidak–. Saya kena kualat untuk datang dan malah selalu berharap “demam” setelah melongok pameran karya mereka, entah itu di galeri, di lobby hotel atau di aula sekolah.

Lebih saya sukai dari pameran seni, adalah eksibisi perupa muda, kita akan menjumpai isinya melulu adalah “antusiasme”, mereka memiliki gairah besar di tengah kepungan pesimisme yang diciptakan semua koran tiap hari Senin. Lagi pula mereka kuat dan tidak gampang patah hati dengan kebanyakan pengunjung profesional yang tidak sabar dengan karya-karya mereka lalu mengkritisi dengan brutal atau keluar dari ruang pameran dengan tidak menemukan apa-apa, –jelas itu bukan saya–

Setiap saya menjadi tamu para perupa muda ini, entah bagaimana frekwensi saya dengan mereka biasanya klop. Mereka ingin memperoleh apresiasi bagi karya-karyanya, sedang saya excite dengan hal-hal yang terungkap di bawah permukaan: penuh gagasan, eksperimen dan atmosfir semangat. Tidak persis seperti simbiosis mutualisma, biasanya akhirnya saya yang menjadi gendut seperti lintah menghisap darah.

Karya-karya Hadi (27) dan Prabu (26) yang diketengahkan dalam Pameran “Multitalenan” dan berlangsung di CCF 5 sampai 16 Februari 2011 adalah salah satu pameran yang merujuk langsung semangat eksperimen seperti itu.

Hadi, seorang perupa yang ramah dan dengan gembira langsung mengungkapkan gagasan dalam karya-karyanya, “Saya berangkat dari latar belakang pendidikan sastra, karya-karya visual saya hampir semua berangkat dari cerita yang sudah jadi apa itu berupa novel, cerita pendek atau flash. Sebelum akhirnya dicitrakan dalam karya saya, tepatnya diringkas,” terang Hadi.

Eksperimen Hadi dan Prabu, karya-karya mereka dimunculkan di atas media talenan (alas potong bahan makanan sebelum dimasak),”Untuk mengangkat konsep ini (multitalenan) saya dan Prabu berpikir keras dan keluar dari kotak berpikir yang banal. Akhirnya sampailah ke sini, separuhnya ide separuhnya keluar begitu saja tidak terduga, ada kesamaan pengucapan dan keseiringan arti dalam kata multi=banyak, talent=bakat, sekaligus memunculkan juga sebuah kata dalam bahasa ibu kami (sunda) “talenan”.

(Selebihnya mengenai filosofi dan what, how, why about talent. Anda harus mendapatkan buku panduan pamerannya, dan membaca tulisan dari Bayu Angora sebagai kurasi pamerannya yang benar-benar memikat) http://blogs.fanbox.com/MULTITALENAN

Menikmati karya Hadi, awalnya saya kikuk dengan figur-figur dalam lukisan Hadi. Lalu akhirnya gembira karena daya ingat saya masih lumayan, gaya Hadi mengingatkan saya dengan ilustrasi majalah komputer Mac awal tahun 1990’an, tahu perbedaannya? image ilustrasi di majalah Mac itu khas karya digital, karya Hadi bisa lebih dahsyat kelak, jika Hadi berhasil meningkatkan tehnik kedalaman warna untuk memunculkan efek floating pada gambarnya.

Meski Prabu main-main juga dengan talenan, Prabu benar-benar ingin memperlihatkan multi talentanya: Menggambar dengan pensil (Show Off Tielman Brothers), (Young Tielman Brothers), Lukis (Ready to Begin), (Come Together), (Vegetarian), Karya Grafis (Free as a Bird), dan Ink/Rapido (Go Around in a Circle), kalau Prabu dalam beberapa hari ini berpikir untuk membuat Go Around in a Circle ini di sebuah sawah siap panen dalam ukuran 120 meter x 120 meter, Prabu sedang menuju jalan ke orbit!

CCF Bandung persis bersebelahan dengan toko buku Gramedia, sebelum pulang ke rumah saya menyempatkan mampir, ikut berjejal di bagian sale buku impor dan menemukan beberapa buku langka: Wiel Coerver Metode, Writers INC dan Quotes.

Tuhan itu senang menggoda dengan serangkaian kebetulan-kebetulan, susah dilukiskan bagaimana bisa dalam sekali buka buku 'Quotes' yang saya pegang terbuka persis di halaman Erica Jong, seorang guru dan penulis besar Amerika yang menulis sebuah kutipan: “Everyone has talent. What is rare is the courage to follow the talent to the dark place where it leads”

Indah?

Tidak, saya ditegur oleh petugas toko untuk tidak membuka sampul plastiknya.

Sabtu, 29 Januari 2011

Janji Motret Bukan dari Kelas Festival

Sebagai pengunjung setia pameran seni yang akhir-akhir ini banyak dilangsungkan, lama-lama saya jadi pintar berkomentar: “Bagus”, “Luar Biasa”, “Dahsyat”. Kalau Anda pikir saya mengatakan itu obral, mungkin iya, tapi bagaimanapun saya mudah terhibur.

Saya menolak memberi kritik kepada sebuah karya seni. Sepanjang saya mengalami, lahirnya sebuah karya melewati masa inkubasi ide, proses kreatif dan keahlian pembuatannya. Kita tidak bisa tiba-tiba datang dan bilang ini ga bagus.

Leluconnya adalah akhirnya seni bercabang-cabang bagi menampung hal ini, sebuah lukisan bisa disebut surealis, naturalis atau abstrak; sebuah karya kriya bisa dianggap murni, ragam hias atau dekoratif; sebuah ‘bukan apa-apa’ disebut sebuah kontemporer, pesannya sebetulnya: ada standar-standar keindahan berlaku.

Tapi saya serius, sebuah karya langsung terkunci jika kita masuk dengan semangat menggugat. Jadi saya selalu datang serta merta gembira untuk setiap karya yang dipajang dan selamanya selalu berhasil menikmati keindahannya seutuhnya, atau mungkin hanya dari satu sudut, atau dari belakang gadis yang berdiri mengamati karya tersebut.

Pameran Fotografi Gelar Karya Karena Janji

Sekarang kita meloncat ke hal lain: Pameran Fotografi. Fotografi sebuah seni yang lain, seni menangkap moment dengan kamera bersensor CMOS 2/3. Senimannya, kita sudah sepakat menyebut mereka fotografer, karyanya adalah sebuah foto. Ukuran penilaian karyanya tegas: 1.Ide, 2.Komposisi dan 3.Ketepatan Tehnik. Dengan standar yang jelas karya (seni) foto boleh dinilai sekaligus boleh dikritisi.

Pada acara pameran fotografi: Gelar Karya Karena Janji yang diselenggarakan partisipan workshop pemotretan panggung Bandung World Jazz Festival, saya diundang sebagai penyuka foto, sebenarnya lebih kredibel sebagai penyuka kopi, enaknya pameran ini diselenggarakan di tempat ngopi favorit saya: Kedai Kopi Mata Angin jalan Bengawan Bandung, saya bisa menikmati dua kesenangan sekaligus, pamerannya dan kopinya.

Gelar Karya Karena Janji mengetengahkan foto-foto dari panggung Bandung World Jazz Festival yang diselenggarakan pada bulan November 2010 lalu. Selain foto-foto kelas (tiket) festival, artinya diambil persis dari muka panggung pada saat performer main, lebih menarik bagi saya adalah foto-foto belakang panggung (menggunakan istilah dari pengantarnya: 'Behind The Scene'). Kita semua tahu, sayap sisi panggung, belakang layar pertunjukan dan ruang rias artis adalah wilayah steril, ini sudah harga mati.

Pada gelaran-gelaran musik yang berkelas, jangankan memotret di area artis, duduk dengan tiket termahal di tanganpun biasanya diikuti dengan larangan memotret selama pertunjukan berlangsung, padahal tidak sedikit yang masuk ke gedung pertunjukan sebagai penikmat musik sekaligus pemotret amatir. Jadi mendapat kesempatan mengambil moment di wilayah ini pastilah istimewa, baik bagi si fotografer, maupun untuk penikmat karya fotografi.

Beberapa dari karya yang dipajang dalam pameran ini adalah foto-foto di belakang panggung, potret Balawan (karya Nunu) dengan gitarnya di ruang tunggu artis (atau sebuah kelas kuliah sore) jelas eksklusif secara moment dan nyeni secara visual, foto seorang laki-laki (karya Jovy A. Akbar) bertopi laken, berjaket, merokok, bersandar di partisi menunggu giliran tampil, sangat kuat, Bahkan seandainya foto ini muncul sendiri tanpa foto-foto lainnya, saya bakal langsung tahu ini seorang musisi yang sedang menunggu naik panggung.

Foto break out lainnya mungkin foto serial sepatu karya Tisna, Tisna memajang tiga foto kaki jenjang sebagai pembuka pameran di teras, secara visual enak dilihat, tetapi itu bisa kaki siapa saja, bisa di acara apa saja, bahkan foto titlenya tidak menulis nama modelnya; foto berikutnya di dalam ruang pamer, masih dalam seri ini: foto sepatu (gitaris) menekan pedal efek, dua hal dapat saya katakan, pertama: secara visual jelas ini lebih ekspresif, kedua: jika Tisna sama-sama berada di atas panggung, Tisna meletakkan kameranya di lantai atau tiarap sekalian.

Foto aksi panggung banyak namun hanya ketekunan memperhatikanlah yang memperoleh hasil hebat, foto yang paling impresif adalah foto pemain bass guitar yang menjepit stang gitar dengan kaki kirinya, terlepas bunyi apa yang muncul, moment ini luarbiasa dan keberuntungan memang sedang berpihak pada si fotografer yang berhasil mengambil sudut ini tepat dari seharusnya.

Karya Workshop Kaya Eksplorasi

Kopi saya disajikan, kopi mandailing dari peladangan Natal yang harum dan cocok untuk sore berhujan. Foto-foto lainnya, semua memenuhi janjinya dari awal sebagai pekerjaan karya (workshop) memanfaatkan panggung dengan maksimal, mengekplorasi ide, komposisi dan tehnik sepertinya sebagai usaha keras untuk keluar dari langgam potretan kelas (tiket) festival.

Saya mentandemkan beberapa jepretan saya dengan foto-foto yang dipamerkan, tidak serius iya tetapi mungkin dari sana kita mengkompromikan satu hal lagi mengenai fotografi panggung: utamakan kesenangan.


Kamis, 20 Januari 2011

Gayus bilang CIA jahat, istriku bilang CIA ciu hawce

Manusia (baca: saya) boleh berencana, hari ini akan melewatkan makan siang beberapa jam terlambat demi sepiring gudeg Capitol (yang dijajakan pukul 4 sore). Demikianlah tadinya, sebelum takdir menentukan lain, pukul sepuluh ditelepon istri diberitahu ada undangan jamuan cia ciu (table dinner ala chinesse) dari kolega di kantornya.

Saya tipe kulinaris yang tidak pernah jaga citra: sok bentrok acara atau sok bosen pergi ke acara sejenis. Jadi dengan serta merta menyambut ajakan jamuan ini diikuti janji untuk potong rambut, berdandan rapi dan tidak menyanyi di acara. Untunglah membawa kamera dan memotret diperbolehkan.

Jamuan diselenggarakan di Restoran Queen yang terletak di jalan Dalem Kaum, sudah menjadi rahasia warga Bandung, walikota pura-pura tidak tahu kalau di sepanjang jalan ini seberang menyeberang berderet lokalisasi yang berkedok tempat masase dan sauna, di depan pintu masuk wahana ini, berdiri satu dua gadis yang berpakaian kalau nggak minimalis, ya berpakaian setelan (separo tete kelihatan), istri saya wanti-wanti di mobil, turun dari kendaraan jangan tengok kiri kanan, saya mengiyakan permintaannya jadi begitu turun hanya memicingkan mata saja tidak sampai menoleh.

Kami termasuk tamu yang datang awal, tuan rumahnya adalah komunitas Perempuan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (PINTI), para penerima tamunya sangat ramah dan mempersilahkan kami duduk di salah satu meja yang telah disediakan.

Cita rasa oriental yang old fashioned di dalam restoran begitu terasa, ragam hias oriental pada partisi, lampu lampion dengan rumbai, tiang dengan cermin, dan warna merah dan emas yang dominan. Semuanya menyambungkan ingatan saya kepada dua hal, pertama film lama yang sungguh keren "Year of The Dragon", kedua amplop angpau.

Jamuan cia ciu dilangsungkan dengan cara menghidangkan sajian makanan satu persatu, makanan biasanya diletakan di tengah meja di atas meja lainnya yang lebih kecil dan bisa berputar. Pertama-tama akan disajikan appetizer bisa berupa kacang mede, acar, atau salad (eropa), kemudian disusul makanan berat yang terdiri dari sup, nasi putih atau nasi goreng, olahan mie, cap cay, ca atau sayur asin, ikan laut, daging babi, udang, daging sapi atau ayam, ikan gurami, dan ditutup dengan cuci mulut seperti puding atau buah-buahan. Jumlah dan urutan menu yang dihidangkan disesuaikan permintaan tuan rumah kepada pihak restoran.

Sejatinya jamuan cia ciu sarat dengan table manner dan terkandung filosofi dan pesan-pesan, tetapi sekarang tidak dipentingkan dan cukup asal memenuhi ukuran yang standar-standar saja misalnya: tamu atau orang tua didahulukan, pada saat giliran mengambil makanan, kita mengambil secukupnya, mempersilakan orang lain menambah sebelum kita menambah, bagi yang tidak memakan daging babi sejujurnya harus saya katakan lebih baik tidak datang ke jamuan cia ciu, semua makanan dan olahan yang disajikan seperti nasi goreng, mie goreng, ifuemie, cap cay, ca sapi dan lainnya semestinya mengandung minyak babi.


Meja kami diisi sepuluh orang, sebagai santapan pembuka, pertama-tama pelayan menghidangkan sup asparagus kepiting ala schezuan lalu disusul ifumie siram cap cay seafood dan jamur, selesai kami menghabiskan piringnya diangkat, tak lama berselang disuguhkan mantau dengan hati babi dan gajih yang diburger, berikutnya ikan jambal yang disop sayur asin disertai nasi putih, kemudian udang goreng saus mentega yang yummy, hidangan terakhir gurami goreng crispy asam manis (dan kami minta tambahan nasi lagi) akhirnya ditutup dengan satu plate besar buah-buahan kupas yang siap santap.

Di undangan sebetulnya ditulis Jia Jiu, rupanya dilafalkan Cia Ciu. Tadi pagi saya baca koran memuat berita Gayus merasa dikerjain agen internasional dan bilang CIA jahat, istriku yang duduk di sebelahku bilang CIA Ciu Hawce (jamuan makan lezat).

Kamis, 13 Januari 2011

Catatan Pameran Pertama di 2011

Kembang api terakhir di perayaan tahun baru malam itu meledak, berpendar dan berkedip di langit, akhirnya hiruk pikuk kemeriahan detik pergantian tahunpun surut, setelah saling mencium pacarnya lalu semua pasangan beranjak pulang. Malam ini semua orang bergembira dan berharap esok pagi hal menyenangkan lainnya menunggu.

Kalau tidak kebanyakan alkohol, kita tetap susah tidur, mengingat-ngingat daftar pekerjaannya berikut dicemasi masalah-masalah tahun lalu yang belum tuntas, inilah saat yang tepat memanjatkan doa singkat dengan istriku: "Tuhan hari ini hebat, dan berkati kami besok". -Kami percaya hal inilah yang terjadi setiap hari-


Lalu tiba2 sudah tanggal 13 Januari lagi, tadi malamnya baru menonton pameran keramik "Cerita Kami Tentang Hidup" di CCF Bandung. Sembilan perupa keramik berkolaborasi dalam exposisi ini, Bonggal J. Hutagalung, Danang Wijayakusuma, Ignasius Tommy, Luthfi Anwar Noor, Maria Josephina, Rizki Andina, Sekarputri, Yugie Kartaatmaja dan Zulkarnaen Omar Andries. Masing-masing mengemas perasaan, problema dan pandangan personal dari masing-masing seniman mengenai hidup dan permasalahan di dalamnya dan direpresentasikan dalam karya mereka.

Konon Bonggal tidak habis pikir ketika keramiknya (Tebak Muka) setelah dibakar menyusut dan bentuknya tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Ini mewakili sekali kehidupan nyata, kita mengerjakan sesuatu pada mulanya berharap kelak hasilnya persis seperti yang kita mau, lalu jadi terkejut seperti Bonggal. "Ini menarik dan menyenangkan," kata Bonggal, "Memang," kata saya dalam hati, bagian paling menarik dalam kehidupan adalah suspense. Sialnya saya juga suka dengan proyeknya,"Dari semua karya yang dipamerkan di sini, kreasi anda paling estetis dan memenuhi fungsi dekoratif," kata saya, ini bisa diartikan: "cakep banget kalau diletakkan di ruang tengah rumah saya".

Saya juga lama memandangi karya Zulkarnaen yang simpel, sosok figur yang sedang memancing di sebuah kolam (Menanti) dan sosok figur menyender di batang pohon (Menyandar) memunculkan rasa bersenang-senang begitu saja tanpa dituntut membaca dan mengerti manual kuratornya yang ditempel di ruang pameran. Untungnya peminat keramik yang memiliki referensi seni yang tinggi (sehingga pengetahuannya tidak mubazir) dapat menikmati karya lain seperti keramik Rizki Andina (In Gold We Trust), Yugie Kartaatmaja (Seri Kejadian Sulit), Maria Josephina (Atributif), Luthfi Anwar Noor (Keramik=Bakaran Tinggi) dan karya Ignasius Tommy (Takut).

Kalau kata Sekarputri (Bad Defense) dalam kata pengantar pembukaan pameran ini,"ide awalnya adalah bagaimana kami mengapresiasi kejadian dalam hidup kami". Saya ingin bertepuk tangan keras-keras karena Ia mewakili perasaan saya, tidak ada yang bilang tahun 2011 bakal dihadapi lebih mudah dari tahun sebelumnya, menurut saya siapa yang bisa mengapresiasi rangkaian peristiwa dalam kehidupan, Ia sudah belajar banyak, menyingkirkan sedih dan belajar tertawa. Karya keramik Danang Wijayakusuma(Monyet-monyet Pengharap) merepresentasikan dengan tepat: jajaran rapi monyet dan batok kelapa yang tertelungkup, "Hampir sebuah instalasi, tetapi ini adalah karya bercerita: sang monyet adalah personifikasi dari manusia, ada sesuatu atau tidak ada sesuatu di bawah batok kelapa itu. Kehendak membukanya adalah pilihan," papar Danang.

Saya berkeliling ulang, meyakinkan diri bahwa ini pameran keramiknya untuk tidak jadi sok filosofis dan menambahkan satu paragraf pesan moral. Waktu larut, meski keramaian berakhir tanpa kembang api dan ciuman, sekali lagi sebuah hari benar-benar hebat, ada keramik, ada perupa-perupa bersemangat, dan Philippe Germain-Vigliano direktur CCF itu juga hebat karena kesediannya menyambut hangat proyek seni mula.